24 April 2009

Semua Untuk Ibadah

Hidup ini adalah untuk ibadah. Setiap yang kita lakukan dan kerjakan dalam kehidupan ini memiliki nilai ibadah, karena Allah SWT menciptakan kita semata-mtata untuk beribadah kepadanya. Namun sayangnya hal ini kurang disadari oleh sebagian besar manusia. Orang yang hidup dalam kekurangan beralasan bagaimana iadapat beribadah sementara kehidupannya serba sulit. Namun setelah berharta, ia lupa untuk beribadah kepada Allah SWT.


Namun hal ini tidak berlaku bagi Pak Sukardi. Meskipun kehidupannya masih serba kekurangan, namun niat hatinya untuk terus beribadah kepada Allah SWT tidak pernah kendur. Kesibukannya mencari nafkah untuk keluarga diniatkannya sebagai salah satu ibadah di jalan Allah SWT.


Pak Sukardi bukanlah orang yang berharta. Pekerjaan sehari-hari yang ditekuninya adalah sebagai tukang ojek sepeda. Setiap hari ia menunggu penumpang di perempatan Rawa Badak, Tanjung Priuk. Seperti yang dilakukannya sore itu, saat banyak karyawan mulai pulang dari kantornya masing-masing, ia masih setia menunggu penumpang.


Sebelum menjadi pengojek sepeda, Pak Sukardi pernah bekerja pada sebuah pabrik kaca milik investor dari Jepang di daerah Pulo Gadung, Jakarta. Namun ia kemudian di PHK karena pernah absen lama karena sakit. Perusahaan tempatnya bekerja tak mau menanggung biaya kesehatan, dan tentusaja tidak mau rugi, sehingga mengambil keputusan tersebut.


Pak Sukardi siap menerima kenyataan ini, karena keyakinannya telah tertempa oleh nilai Islam yang diyakininya. "Saya yakin, rejeki mah Allah yang ngatur ..." Berangkat dari keyakinan yang tulus itu, serta menyadari keterbatasannya yang tidak lulus sekolah dasar, ia banting stir ke usaha yang tak pernah ia impikan sebelumnya: menjadi pengojek sepeda! Keyakinan dan usaha itu memang membuahkan hasilnya, "Setiap hari paling sedikit saya bisa mengantongi tujuh ribu perak. Alhamdulillah, bisa untuk makan dan membiayai anak-anak ..." Ia mempunyai empat orang anak. Yang paling besar di SLTA, dua orang di SLTP, yang paling kecil masih di SD. "Sekarang ini, kalau kita nggak kuat mendidik anak dengan agama, gawat! Banyak sekali gangguannya. Kita sering dengar ada anak gadis hamil duluan sbelum nikah. Nauzu billah min zalik! Itu kesalahan orang tuanya yang tidak mendidik dengan pelajaran agama."


Kiranya Pak Sukardi benar, arus kejahiliyahan memang tengah merayap di sela-sela kehidupan kita. Arus itu melilit dan meracuni semua lapisan sosial dengan segala perwujudannya. Tidak hanya meracuni si kaya, tapi juga si miskin. Pak Sukardi tak ingin terlindas arus itu. "Saya tanamkan Islam pada anak-anak melalui pengajian dan halaqoh di Masjid, dan saya "ngasih" contoh pada mereka. Misalnya kalau sholat subuh, kita bangunkan mereka, kita ajak ke masjid ..."


“Habis, kita hidup ini buat apa sih kalau bukan untuk ibadah? Bekerja ibadah, belajar ibadah, pokoknya semua lah. Untuk apa hidup di dunia ini kalau cumin bergelimang harta tanpa tujuan yang jelas? Dan kekurangan materi bukan halanga untuk memilih tujuan hidup yang benar dan pasti”, lanjutnya


Keyakinan itulah yang agaknya terpatri kuat dalam jiwa tukang ojek kita ini. Maka ketika suara adzan memanggil, ia tak menyia-nyiakan waktu untuk tetap berada dalam tujuan utama hidupnya. Ia bergegas pulang ke rumah menunaikan kewajibannya di masjid dekat rumahnya. "Kalau ngedenger azan terus kita belum sholat, rasanya nggak enak, kayak punya utang saja. Hati gelisah, pengennya mau pulang melulu ... padahal lagi ada penumpang."


Pak Sukardi sudah menganggap ibadah sebagai kebutuhan. Ia merasa punya beban jika kewajiban terhadap Allah belum ditunaikan. Tidak hanya itu saja, ia bahkan berusaha mendirikan kewajiban tersebut dengan cara yang terbaik. "Pernah ada teman saya yang ‘ngetawain’ dan ngejek saya, karena saya pakai payung waktu ‘narik’ di siang bolong. Waktu itu bulan Ramadhan. Saya diamkan saja. Habis, dari pada saya batal puasa karena kepanasan?" ceritanya tentang pengalamannya menarik ojek di bulan suci Ramadhan. "Saya menyayangkan teman-teman saya yang tidak puasa di bulan Ramadhan. Padahal kita bisa ngatur waktu untuk menjaga dan mempertahankan puasa kita. Misalnya kalau narik di bulan Ramadhan, sebaiknya dari pagi sampai sekitar jam sebelasan lah, jangan lebih. Habis itu kita pulang, sholat Dzuhur, tidur di rumah sampai Ashar. Habis Ashar kita bisa narik lagi sampai malem. Itu 'kan nggak terlalu menguras tenaga. Kita bisa tetap puasa, udah gitu dapet rejeki lagi. Alhamdulillah, selama saya narik ojek ini, saya nggak pernah ‘bolong’ puasa, bukannya nyombong nih!"


Pernah suatu hari ia mendapat penumpang, dan sudah menjadi kebiasannya, ia selalu mengajak ngobrol orang yang memerlukan jasanya. Pembicaraan berkisar pada soal hujan yang sudah lama tidak turun, entah bagaimana tiba-tiba orang itu mengatakan bahwa berkat kecanggihan teknologi sekarang, hujan sudah bisa dibuat. Pernyataan ini langsung disergah oleh Pak Sukardi. "Hujan mah, biar gimana, buatan Allah, Pak! Manusia nggak bisa bikin hujan. Kita jangan sombong dengan ilmu pengetahuan kita, sebab kalau dibandingkan dengan ilmunya Allah, ilmu kita mah nggak ada arti nya. Kita manusia cuma bisa berusaha, Allah yang menentukan. Kita aja yang ngaku-ngaku bisa bikin hujan buatan, padahal semuanya dari Allah."


Hari-hari pak Sukardi adalah sepeda dan da'wah, keringat dan ibadah. Sebuah fenomena menyejukkan yang dapat kita saksi kan di tengah semakin parahnya budaya jahilliyah merasuki sendi-sendi kehidupan kita. Semoga kita dapat menjadikannya teladan dalam menyikapi kehisupan ini. Amin


Wallahu a’lam


sumber: syahadat.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar